JurnalPantura.id, Kudus – Ribuan pekerja industri rokok di Kudus mengikuti kegiatan Senam Sehat Pekerja Rokok yang digelar di Lapangan Desa Rendeng, Kamis (29/5/2025).
Acara ini merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Ulang Tahun ke-32 Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (FSP RTMM-SPSI), sekaligus momentum untuk menyuarakan keresahan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai mengancam kelangsungan hidup pekerja industri hasil tembakau (IHT).
Ketua PUK PT Djarum, Ali Muklisin, dalam keterangannya menyampaikan bahwa regulasi seperti PP 28 Tahun 2023 yang mengatur pembatasan promosi, penjualan, dan konsumsi rokok, sangat berdampak terhadap keberlangsungan industri.
“Ketika regulasi diperketat, pembeli rokok berkurang. Dampaknya jelas ke pabrik: produksi menurun, order sepi, PHK mengancam. Kami di PT Djarum sangat merasakan itu,” tegasnya.
Ali juga menolak rencana pemerintah untuk tetap menaikkan cukai hasil tembakau dalam tiga tahun ke depan. Ia menyebut kebijakan tersebut tidak realistis di tengah kondisi ekonomi yang sedang tidak stabil.
“Kami sudah lama menolak PP 28. Tahun lalu bahkan sempat demo di Kementerian Kesehatan. Kami minta moratorium tiga tahun ke depan untuk tidak menaikkan cukai. Ini demi penyelamatan pekerja yang mengandalkan sektor padat karya,” tegasnya.
Ali menyebut industri rokok menyumbang lebih dari Rp240 triliun melalui cukai ke negara, atau sekitar 10 persen dari APBN. Ia mempertanyakan kebijakan pemerintah yang justru semakin ‘mencekik’ industri yang menjadi penyumbang besar bagi keuangan negara.
“Kalau IHT terus ditekan, negara mau ambil uang dari mana? Kita bukan anti diatur, tapi aturlah secara adil dan masuk akal,” ujar Ali.
Sementara itu, Ketua FSP RTMM-SPSI Jawa Tengah, Sudarto, juga menegaskan bahwa serikat pekerja mendesak dilakukan deregulasi terhadap berbagai aturan yang dianggap eksesif dan kontraproduktif.
“Industri padat karya seperti IHT perlu dilindungi. Kalau dibiarkan terus dicekik regulasi, para buruh akan kehilangan pekerjaan. Ini bukan hanya soal ekonomi, tapi soal kemanusiaan,” kata Sudarto.
Ia menyoroti sejumlah aturan yang menghambat pemasaran rokok seperti larangan penjualan 200 meter dari sekolah, pelarangan promosi, kemasan polos, hingga pembatasan etalase.
“Kalau penjual tak bisa jual, rokok tak laku, buruh kehilangan pekerjaan. Itu sudah terjadi. Bahkan serapan pasar sudah turun 3 persen,” tegasnya.
Sudarto menambahkan bahwa pihaknya mengutamakan dialog dan berharap DPR RI, khususnya Komisi IX, bisa menjembatani persoalan ini secara serius.
“Kami berharap ada langkah nyata. Jangan sampai unjuk rasa dan dialog hanya jadi formalitas. Buruh rokok harus diselamatkan dari kebijakan yang membahayakan kehidupan mereka,” tegasnya.
Serikat pekerja juga menyampaikan dukungan terhadap rencana moratorium kenaikan cukai demi stabilisasi sektor IHT.
“Kalau cukai terus naik, rokok legal makin mahal, rokok ilegal laris. Ini menurunkan pendapatan negara sekaligus memicu PHK besar-besaran,” tambahnya.
Sudarto juga menyoroti adanya intervensi asing yang terus menekan industri rokok lewat isu kesehatan global. Menurutnya, tekanan melalui protokol WHO (FCTC) terlalu masif, padahal Indonesia tidak pernah meratifikasi protokol tersebut.
“Semua produk yang dikonsumsi pasti punya dampak kesehatan, bukan cuma rokok. Tapi rokok ditekan berlebihan. Seolah-olah jadi musuh negara,” kata dia.
Ia juga mengkritisi aturan kawasan tanpa rokok yang menurutnya berlebihan, karena tidak menyediakan tempat alternatif bagi perokok.
“Kalau semua tempat jadi KTR, di mana orang bisa merokok? Ini sama saja mematikan industri pelan-pelan,” ungkap Sudarto.
Dalam kegiatan ini, serikat pekerja menegaskan bahwa mereka tidak menolak regulasi, tapi meminta pemerintah membuat kebijakan yang memberi ruang hidup dan perlindungan bagi pekerja.
“Kami ini orang-orang yang menggantungkan hidup dari IHT. Jangan tambah penderitaan kami dengan aturan-aturan yang membuat kami kehilangan pekerjaan,” pungkas Sudarto. (J07/A01)