Jurnalpantura.id, Kudus – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah memberangkatkan tim Muhammadiyah Aid untuk membawa misi kemanusiaan dan membantu korban bencana gempa bumi di Myanmar yang terjadi pada 28 Maret 2025 lalu.
Sebagai informasi, gempa bumi 7,7 SR mengguncang wilayah Mandalay, Myanmar bagian tengah pada Jum’at 28/03/2025.
Terjadi sekitar pukul 12.50 waktu setempat, gempa berasal dari kedalaman sekitar 10 kilometer. Berselang 12 menit kemudian, gempa 6,7 SR muncul dari kedalaman sama di sisi selatan episentrum gempa yang pertama.
Dan menyusul sepanjang hari itu sebanyak sembilan gempa susulan dengan magnitudo yang lebih kecil, bervariasi dari 4,4 SR sampai dengan 4,9 SR.
Tiga orang yang diberangkatkan untuk membawa bantuan logistik dan uang tunai, selama empat belas hari di Myanmar yang berangkat mulai 24/04/2025 hingga kembali ke tanah air pada Sabtu 10/05/2025 malam.
Mereka adalah Syahri Ramadhan (kordinator relawan ) Dwi Kurniawan (relawan data dan media ), dan Satriyo Yudo Budi Wicaksono (relawan bidang logistik).
Satriyo Yudo Budi Wicaksono yang merupakan ketua Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Kabupaten Kudus, menceritakan pengalaman berharganya selama perjalanan menjadi relawan dan membawa misi kemanusiaan ke Myanmar.
“Jadi kami berangkat ke sana tidak langsung ke lokasi bencana. Pertama datang sampai di Kota Yangoon, kita dijemput oleh tim lokal. Kami berkoordinasi dengan Phoenix Association. Kemudian setelah ke Kedubes Indonesia di Myanmar,” ujarnya.
Setelah itu, dengan didampingi tim lokal, tim Muhammadiyah Aid mulai menyalurkan berbagai bantuan logistik seperti Hygiene Kit (sabun, sampo, detergen, pasta gigi, handuk), paket tenda, terpal, alat kebersihan, hingga uang tunai.

Untuk uang tunai sendiri, Muhammadiyah menyiapkan sebanyak Rp 550 juta yang ditukarkan menjadi mata uang Myanmar. Sejumlah uang tersebut telah dibagi menjadi 1.350 amplop untuk disalurkan kepada korban bencana.
“Kami ke Yangoon, lalu Nay Pyi Taw (NPT), Mandalay, itu satu garis lurus jalannya. Yang ke Sagaing kita diperkenankan. Jadi setiap lokasi itu dijaga ketat oleh militer. Perjalanan menjadi panjang karena penjagaan yang ketat itu,” tambahnya.
Ketatnya Penjagaan Militer Myanmar
Di tengah perang saudara yang terjadi di Neymar, lanjut Satriyo, Tim Muhammadiyah mengandalkan pendampingan dari tim lokal agar selamat hingga tujuan.
Satriyo menceritakan, penjagaan militer di Myanmar sangat ketat. Bila perjalanan biasa membutuhkan waktu beberapa jam saja, saat itu hampir 13 jam lebih bantuan baru bisa sampai kepada penerima. Hal itu juga disebabkan karena perang saudara di Myanmar yang belum berakhir dan masih memanas.
“Cek Poin militer di sana sangat banyak, kami melewati banyak cek poin,” ungkapnya.
“Mereka (petugas militer yang berjaga) bertanya kami dari rombongan mana, dokumnennya apa saja. Jadi yang biasanya cuma beberapa jam harus sampai 13 jam karena cek poin berkali-kali,” ceritanya.
Satriyo menyebut, keputusan untuk membawa sendiri logistik bantuan tanpa perantara pemerintah Myanmar, agar bantuan tersebut bisa dirasakan langsung. Serta merata untuk korban yang ada di lokasi.
“Jadi mereka senang sekali sewaktu kita tiba, mereka sangat menunggu bantuan itu, karena pemerintah di sana merasa kurang mampu mendampingi warga sehingga membuka kesempatan untuk yang mau membantu,” ceritanya.
Terlebih, saat para korban menerima bantuan uang tunai. Raut wajah senang diceritakan oleh Satriyo begitu haru. Karena mereka telah kehilang rumah, harta benda, dan bahkan tidak bisa bekerja karena tertimpa bencana gempa bumi.
Tim Muhammadiyah sendiri berada di Myanmar selama 14 hari. Selama itu pula, Satriyo yang mendapatkan pengalaman untuk pertama kali sangat terenyuh akan perjuangan warga lokal dalam bertahan hidup di tengah perang dan bencana alam.
“Kesannya sangat luar biasa, ini pengalaman pertama saya dalam penanganan bencana di Myanmar dan menjadi pelajaran bagi saya bahwa banyak saudara kita di sana yang membutuhkan bantuan kita. Semoga bantuan yang kita berikan bisa bermanfaat,” tukasnya. (J05/A01)