Jurnalpantura.id, Kudus – Tradisi Bulusan di Desa Hadipolo, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, kembali digelar meriah pada Senin, 7/4/2025.
Tradisi ini menarik perhatian ribuan orang dari berbagai daerah yang datang untuk menyaksikan prosesi teatrikal dan ritual sakral yang sudah berlangsung turun-temurun.
Acara dimulai dengan sebuah prosesi teatrikal yang menggambarkan asal-usul tradisi ini, di mana dua remaja dengan kostum menyerupai bulus berjalan beriringan dan bertemu dengan seseorang yang mengenakan jubah khas Sunan Muria.
Adegan teatrikal tersebut, nampak peraga Sunan Muria memberikan wejangan dan restu kepada kedua bulus itu.
Setelah adegan teatrikal selesai, rangkaian acara dilanjutkan dengan ritual pemberian makan kepada bulus di depan Punden Makam Mbah Dudo, tempat yang dianggap sebagai titik awal tradisi ini.
Ritual tersebut dilakukan oleh juru kunci, Mbah Ahmad Sudirman dan Nyai Sudasih, yang dengan penuh khidmat memberikan kupat dan potongan ingkung ayam kepada seekor bulus besar.
Setelah pemberian makan selesai, sepuluh gunungan kupat lepet dan hasil bumi yang dibawa dalam kirab didoakan.
Tak lama setelah itu, ribuan warga berebut gunungan tersebut, berharap mendapat berkah dari acara sakral tersebut yang sudah menjadi tradisi leluhur.
Muhammad Aris, panitia acara Bulusan, mengungkapkan bahwa tradisi ini bermula dari sebuah mitos tentang dua santri bernama Umara dan Umari, yang merupakan murid dari Mbah Dudo.

Mereka mendapat tugas mencabuti benih padi pada bulan puasa. Karena terik panas yang menyengat, keduanya memilih untuk mencabut padi di malam hari, yang akhirnya menimbulkan suara gemericik air.
Suara itu terdengar oleh Sunan Muria yang sedang berbincang dengan Mbah Dudo, dan beliau pun mengutus santrinya untuk mencari asal suara tersebut.
Begitu mendengar penjelasan tentang kegiatan santri tersebut, Sunan Muria mengucapkan sabda yang mengubah keduanya menjadi bulus.
“Wengi-wengi kok daud, koyo bulus” (malam-malam kok mencabut benih padi, seperti bulus),” ujar Aris menirukan sabda Sunan Muria yang konon menjadi asal muasal tradisi ini.
Kedua santri itu pun kemudian berubah wujud menjadi bulus dan berjalan menuju selatan, melewati sungai dan jatuh di tengah desa yang kini dikenal dengan nama Bulusan.
“Setelah sabda tersebut, Kanjeng Sunan Muria bertanggung jawab atas keselamatan dan kehidupan dua bulus tersebut, sehingga berjalan dan memunculkan nama-nama daerah seperti mojo, prasman, dan titik akhir bulusan,” terang Aris.
Selain kirab dan ritual sakral, acara Bulusan tahun ini juga dimeriahkan dengan adanya pasar UMKM yang diikuti oleh 300 tenan.
Pasar yang sudah dibuka sejak 1 April 2025 ini memberikan peluang bagi masyarakat sekitar untuk memasarkan produk lokal mereka dan memperkenalkan hasil usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kepada pengunjung dari berbagai daerah.
Pasar UMKM ini akan berlangsung hingga 12 April 2025, menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang datang ke desa ini. (J05/A01)