Jurnalpantura.id, Kudus – Wakil Bupati Kudus, Bellinda Birton, menjadi sorotan publik setelah mengunggah konten video berdurasi 2 menit 25 detik di akun Instagram dan TikTok pribadinya pada Kamis, 24/4/2025.
Dalam video tersebut, Bellinda meminta para pedagang kaki lima (PKL) di kawasan Alun-alun Simpang Tujuh yang bukan warga asli setempat untuk pindah lokasi berjualan, atau pindah domisili jika ingin tetap berjualan di lokasi tersebut.
Unggahan itu segera dibanjiri komentar dari netizen yang terbelah antara yang mendukung dan menolak kebijakan tersebut.
Kontroversi bermula dari pernyataan Bellinda yang menegaskan bahwa area berjualan di Alun-alun Simpang Tujuh diprioritaskan untuk warga Kudus. Tindakan ini ditujukan, menurutnya, untuk memberikan kesempatan lebih besar kepada warga lokal.
Dalam video yang sama, Bellinda juga terlihat mengecek identitas para PKL satu per satu.
Ia kemudian meminta dinas terkait untuk melakukan sosialisasi dan memberi waktu selama satu minggu kepada para pedagang luar daerah agar menyesuaikan diri dengan kebijakan baru tersebut.
Tindakan ini memicu perdebatan, terutama soal apakah pemilahan berdasarkan domisili dapat dianggap adil dan tidak diskriminatif.
Salah satu komentar kritis datang dari akun @viergaesha23 yang mempertanyakan, “Apakabar orang2 kudus yg berjualan di luar kudus..? Apakah perlu diperlakukan sama kyk gtt?”
Komentar tersebut mendapat dukungan dari warganet lain. Akun @noni.6651 menyindir, “Emang dasar yang dagang di trotoar itu di larang karena mengganggu, jadi kalau mau ngelarang ya di larang aja, nggak usah pake embel-embel akamsi.”
Kritik juga muncul karena kebijakan ini dianggap berpotensi diskriminatif dan tidak menyentuh akar persoalan, seperti penataan ruang kota dan fasilitas usaha kecil. Sebagian netizen meminta agar Pemkab Kudus fokus pada penataan lokasi dagang dan peningkatan fasilitas bagi semua pedagang tanpa melihat asal domisili.
Di sisi lain, ada juga yang berkomentar positif dan mendukung kebijakan Bellinda.
Salah satunya dari akun @lutfipermitasari yang mengatakan “Saya orang Kudus pengin jualan aja ngurus di Dinas Perdagangan aja sampe 6 bulan. Katanya nunggu ada tempat kosong”.
Menanggapi kritik yang datang, Bellinda menjelaskan bahwa kebijakan ini muncul sebagai respons atas aduan warga yang disampaikan melalui kolom komentar dan pesan pribadi di media sosialnya.
Banyak warga mengeluhkan ketidaktertiban dan kemacetan akibat PKL yang menggunakan trotoar dan area sekitar masjid untuk berjualan.
Bellinda mengaku hanya menjalankan aspirasi masyarakat yang merasa terganggu.
Ia menegaskan bahwa kebijakan ini bukanlah bentuk pengusiran, melainkan penataan. PKL yang bukan warga Kudus akan diarahkan ke lokasi alternatif yang juga strategis dan ramai pengunjung.
“Bukan mengusir atau apapun, bahwa ini nanti kalau ditertibkan dikasih tempat atau area lain untuk jualan yang sekiranya banyak pengunjung. Di sini saya tau juga, saya tidak akan mematikan rejeki orang lain,” ujar Bellinda dalam pernyataan pada Jumat, 25/4/2025.
Menurutnya, banyak PKL dari luar daerah sebenarnya sudah lama tinggal di Kudus bersama keluarganya. Oleh sebab itu, ia menawarkan solusi agar mereka menjadi warga resmi Kudus demi kemudahan dalam menjalani usaha.
“Kalau mereka sudah tahunan di sini (Kudus), keluarga di sini, sehari-hari kerja disini, anaknya sekolah di sini, bahkan kembali ke tempat asal beberapa bulan sekali, kenapa tidak jadi orang Kudus saja, ini solusi dari saya,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Bidang PKL Dinas Perdagangan Kudus, Imam Prayitno, menyatakan bahwa regulasi saat ini memang belum mengatur identitas domisili PKL, tetapi lebih pada zonasi dan waktu berjualan.
Meski demikian, ia mendukung langkah Wabup Bellinda sebagai bagian dari penataan kawasan kota menuju visi “Kudus Sehat”.
“Nanti akan kita sesuaikan dengan regulasinya, untuk mendukung visi misi Bupati dan Wakil Bupati yakni Kudus Sehat. Rencananya ada pelatihan PKL untuk memiliki sertifikat laik hygine sanitasi, agar penataan PKL juga mudah,” tandasnya. (J05/A01)