Jurnalpantura.Com, Kudus – Dua orang pentolan mantan pengikut islam radikal di Indonesia pagi tadi hadir di Hotel @Hom Kudus, kehadiran Nasir Abbas mantan petinggi Jamaah Islamiah (JI) dan Ken Setiawan ketua NII Krisis Center sengaja di datangkan oleh Polres Kudus, sebagai pembicara pada Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Pencegahan Faham Radikalisme dan Terorisme Untuk Keutuhan NKRI”, Kamis 25/01/2018.
Nasir Abbas yang juga pernah melatih Imam Samudra hingga Noordin M. Top. Mengungkapkan bahwa, Radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaruan sosial dan politik dengan cara yang keras atau drastis.
Radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir dan bertindak”. Radikal berasal dari kata “radix” atau “radicis” yang berarti akar.
“ Itulah sebabnya mereka menggunakan segala cara agar apa yang dilakukannya dianggap benar oleh masyarakat,” kata Nasir.
Terget berikutnya adalah menguasai sebuah wilayah untuk dijadikan negara baru. Dalam mencapai target tersebut pelaku terorisme melakukan berbagai kampanye, antara lain menganggap pemerintahan yang sah sebagai kelompok kafir dan menolak dasar yang sah dari sebuah negara.
“Kita sama-sama sepakat keutuhan NKRI adalah harga mati. Oleh karena itu mari kita sama-sama menjaga Indonesia tetap utuh, mari kita lawan adanya terorisme,” ajak Nasir.
Untuk menjaga eksistensinya, masih kata Nasir, setelah target mendapatkan dukungan masyarakat dan menguasai sebuah wilayah, kelompok teroris akan menargetkan membangun kekuatan militer sebagai bagian dari pertahanan.
“Kalau kita lihat, mereka selalu berusaha menguasai wilayah yang memiliki kawasan hutan lebat, karena di sana mereka bisa melakukan pelatihan ala militer,” ungkapnya.
Peran lingkungan sangat berpengaruh pada perubahan karakter seorang, Pegiat sosial keagamaan Nasir Abbas mengemukakan bahwa berdasar pengalamannya menjalani proses deradikalisasi, saat ini yang harus lebih ditingkatkan intensitasnya adalah komunikasi.
“Deradikalisasi adalah komunikasi, dan negara harus membangun komunikasi yang intens dengan para narapidana maupun mantan narapidana terkait terorisme,” kata Nasir.
Nasir menilai komunikasi penting karena cara tersebut lebih efektif daripada hukuman kurungan seumur hidup.
“Penjara seumur hidup atau hukuman mati tidak membuat mereka jera, apalagi tanpa komunikasi,” kata dia
Sementara itu pembicara kedua Ken Setiawan yang dikenal sebagai aktivis organisasi terlarang, Negara Islam Indonesia (NII), mengungkapkan pengalamannya dulu bahwa NII menyebarkan pahamnya lewat pendekatan agama dan negara.
“Para korban diajak ragu terhadap negara ini dengan dalih karena negara ini tidak menjalankan syariat Islam,” katanya.
Ken yang sebelum memulai sesi pemaparan materinya sempat dengan meyakinkan melakukan praktek simulasi bagaimana cara kaum radikalis mebrain washing seseorang dalam perekrutan anggota.
Dengan menggunakan model seorang anggota polisi yang hadir pada acara diskusi tersebut dan sempat menjadikan sang polisi tak berkutik dengan jebakan jebakan pertanyaan dan pernyataan dari Ken.
Mereka, kata Ken, menjelaskan makna beberapa ayat Al Quran secara terpisah lalu ditafsirkan sesuai dengan kehendak mereka.
Ken juga mendorong masyarakat untuk berani menolak bila menghadapi orang-orang yang menyebarkan paham radikal.
“Mereka tak akan berhenti merekrut sampai korbannya mengatakan tidak,” katanya.
Kegiatan focus group discussion (FGD) ini selain menampilkan Nasir Abas dan Ken setiawan sebagai pembicara diskusi ini, moderator acara tersebut oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus Dr. H Hidayatullah. (J02)