Jurnalpantura.id, Kudus – Prihatin dengan semakin rusaknya kondisi tanah persawahan dan tingginya penggunaan pestisida kimia, Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Kudus bersama Akar Tani Makmur dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) akan mengajak petani untuk bercocok tanam secara organik kembali. Hal ini terungkap saat kegiatan training PPL di BPP kecamatan Kota, Rabu 26/09/2018 siang.
Catur Sulistiyanto S.Sos MM, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kudus, mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah pusat memiliki segitiga penggerak tanaman secara organik di Jawa yakni Lembah Kemuning di Kuningan Jawa Barat dibawah pimpinan Sudarmoko, SPP Qoriyah Toyibah Salatiga dengan ketua Bahrudin dan Akar Tani Makmur Kudus dengan pembina Hasan Aoni.
“Jadi ini sekarang kita hadirkan pembina Akar Tani Makmur supaya menularkan pengalamannya untuk pembinaan petani organik. Sebab penggunaan pupuk kimia secara terus menerus sejak puluhan tahun akan semakin menurunkan produktifitas hasil pertanian. Sehingga tingkat kesejahteraan petani menurun. Nah, dengan kembali menggunakan pupuk organik berdasarkan pengalaman yang sudah dilakukan para petani organik, hasilnya semakin meningkat. Sebab tanah kembali subur secara alam,”terang Catur Sulistiyanto.
Hasan Aoni, pembina Akar Tani Makmur, mengungkapkan bahwa gerakan untuk mengajak kembali petani bertani secara organik adalah untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Selain itu produknya juga memberikan manfaat untuk orang lain atau konsumen karena tidak mengandung pestisida kimia.
“Tujuan dari pertanian organik ini adalah menaikkan produktifitas, menaikkan kualitas, menaikkan kualitas lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan petani,”tegas Hasan Aoni.
Hasan Aoni mengakui bahwa upaya untuk mengajak petani ke sistem organik saat ini masih cukup berat. Sebab banyak sekali alasan yang disampaikan sebagai argumentasi. Misalnya, lamanya masa panen, proses pelaksanaan bercocok tanam yang berubah, bukan lahan milik sendiri dan ancaman gagal panen.
“Padahal itu hanya sekedar alasan karena tidak mau mengubah kebiasaan. Buktinya, sekarang juga banyak terjadi gagal panen pada pertanian menggunakan pestisida dan pupuk kimia. Nah, kita mengajak kembali ke model nenek moyang kita yang lebih mandiri. Sebab pertanian model sekarang itu kita istilahkan petani berhutang modal nutrisi tanah. Bagaimana tidak, nutrisi tanah selalu diambil melalui hasil panen. Sementara petani memberikan tanah sedikit nutrisi melalui pupuk kimia sintetis. Berbeda bila menggunakan pupuk organik, tanah akan kembali memiliki nutrisi dan lebih panjang manfaatnya. Pendeknya begini, kalau ingin tetap terus menjadi petani, maka petani harus mau juga mengolah sawah. Cara bertani sekarang (pupuk kimia) itu sama dengan merusak tanah,”paparnya.
Mantan Direktur PDAM Kudus ini mencontohkan kehidupan tanaman di kawasan lahan hutan. Disini tidak ada orang yang memberikan pupuk kimia, namun tanaman terus tumbuh dan berbuah. Sebab, pupuk alami dihasilkan dari kompos daun-daunan serta hewan yang membuang kotoran di sekitar pohon.
Ditambahkan, pada tanaman padi diakuinya akan mengalami proses penurunan hasil saat pertama kali mengaplikasikan pupuk organik. Misalnya, pada tahun sebelumnya satu petak menghasilkan 20 karung saat menggunakan pupuk kimia, maka akan menurun jadi 15 karung. Namun pada panen masa berikutnya akan perlahan meningkat dan semakin meningkat.
“Kreatifitas penggunaan sistem organik ini ada kredit value. Nanti hasilnya diperkirakan setelah 3 tahun hasilnya bisa melebihi penggunaan pupuk kimia sintetis. Sebab tanahnya sudah kembali subur dan organisme-organisme ekosistem tumbuh lagi,”tuturnya.
Hasil produksi pertanian organik saat ini mulai dibutuhkan oleh kelas sosial menengah ke atas. Sehingga secara pangsa pasar saat ini sudah ada dan masih banyak kebutuhan yang belum terpenuhi. Hal ini karena masyarakat yang berpenghasilan dan kelas menengah ke atas sudah sadar pola hidup sehat dengan mengkonsumi makanan sehat.
“Mudahnya begini. Ayam kampung dan ayam horn (pedaging) itu kan beda, tidak bisa disamakan. Masak ayam kampung dijualnya sama dengan ayam pedaging. Begitu pula dengan beras atau buah organik organik harganya mau disamakan dengan yang sistem pupuk kimia. Jadi dengan lebih tinggi hasil organik, maka petani akan semakin sejahtera dan berkelanjutan,”tandasnya.
Menanggapi hal ini, Apin Supriatna, Koordinator PPL kecamatan Bae, menyatakan saat setuju dan mendukung gerakan yang dilakukan Akar Tani Makmur. Sebab, bisa menjadi solusi ketika para petani mengeluhkan naiknya harga pupuk serta kadang terjadi kelangkaan pupuk kimia.
“Kita seperti dibangunan kembali, setelah sekian lama dinina-bobokkan oleh pupuk kimia sintetis. Sebenarnya di beberapa wilayah sudah ada petani-petani menggunakan sistem organik. Namun saat ini gerakan tersebut belum masif. Oleh karena itu, kita nanti bisa bersama-sama untuk turun kembali mengajak petani agak kembali ke sistem organik,”ucap Apin Supriyatna.
Dukungan serupa juga diungkapkan Ali Hamidy, Ketua Perhiptani (Perhimpunan Penyuluh Pertanian) Cabang Kudus, dengan menyatakan bahwa sistem pertanian organik pada tanaman hortikultura bisa memperpanjang usia tanam dan jumlah produksi.
“Pengalaman yang kita saksikan, ada petani cabai menggunakan cara organik ternyata umur tanaman bisa mencapai 8 bulan dan terus berproduksi. Padahal kalau menggunakan pupuk kimia hanya berumur 6 bulan dan itupun satu bulan terakhir produksinya sudah sangat menurun. Kami sangat mendukung program organik ini. Namun, kami harapkan untuk bantuan pemasaran hasil tanaman hortikulturanya. Sebab sangat disayangkan kalau hargai cabai organik harganya sama dengan cabai hasil pupuk kimia. Kalau untuk beras organik kan sudah jelas pasarnya,”harap Ali Hamidy. (J02/A01)